Vol. 11, No.2, pp.68-75, Juli, 2020
70 https://journal.ikopin.ac.id
Dasar hukum yang menjadi landasan pelaksanaan rahn adalah Al-Quran surah
Al-Baqarah ayat 283, hadist, ijma’, serta fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn dan Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Substansi dalam
peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh
berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan
transaksi utang piutang (Kholijah, 2020). Fungsi barang gadai (murtahin) pada ayat di
atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai
(murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beritikad baik untuk mengembalikan
pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang
dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.
Pada hakikatnya praktik gadai merupakan salah satu bentuk dari muamalah,
dimana sikap tolong menolong dan amanah sangat diutamakan (Sofi’i, 2017). Rasulullah
SAW dalam hadist juga telah memperlihatkan contoh muamalah dengan menggadaikan
baju besinya kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan makanan (Izzah, 2016).
Berpedoman pada al-quran dan hadist tersebut, pada dasarnya fungsi dari gadai adalah
untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Barang jaminan yang
diberikan digunakan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan komersil yang
mengambil keuntungan sebesar-besarnya (Hermanto, 2016). Tujuan adanya praktik rahn
adalah untuk memberikan pinjaman atau pembiayaan dengan cara yang benar dan halal
sehingga menghindarkan masyarakat dari meminjam dana ke lintah darat, pegadaian
gelap atau pinjaman yang tidak wajar lainnya (Ilmiah, 2015).
Akad rahn diberlakukan atas pinjaman yang diberikan pihak pegadaian syariah
kepada nasabah (rahin), dimana pegadaian syariah menahan salah satu harta milik
nasabah sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya (Roficoh & Ghozali, 2018).
Dengan demikian, pegadaian syariah memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh
pihak pegadaian syariah jika nantinya nasabah (rahin) tidak dapat melunasi pinjamannya.
Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk
rahn menurut Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar mengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun.
a. Apabila jatuh tempo, marhun harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin (Nasional & Indonesia, 2006)