Co-Value : Jurnal Ekonomi, Koperasi & Kewirausahaan
Volume 11, Number 2, Juli, 2020
p-ISSN: 2086-3306 e-ISSN: 2809-8862
How to cite:
Diana Magfiroh, Putri Amalia Zubaedah. (2020). Analis Pelaksanaan Akad Rohn Berdasarkan
Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002. Co-Value: Jurnal Ekonomi, Koperasi
Kewirausahaan Vol 11(2):68-75
E-ISSN:
Published by:
https://greenpublisher.id/
ANALISIS PELAKSANAN AKAD ROHN BERDASARKAN FATWA
DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002
Diana Maghfiroh, Putri Amalia Zubaedah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Green Publisher
E-mail: dianamagfiroh0002@gmail.com, putt.mafazha@gmail.com
Abstrak
Prinsip gadai sangat memperhatikan nilai sosial, tolong-menolong dan
kepercayaan dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak lain karena keberadaan Pegadaian
Syariah bukan untuk kepentingan komersil yang menjadikan usahanya sebagai
ladang mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kemaslahatan
bersama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan akad rahn
berdasarkan fatwa DSN-MUI no. 25 tahun 2002. Penelitian ini adalah sebuah kajian
pustaka dari penelitian deskriptif. Karena menggunaan kajian pustaka tentunya
sumber datanya pun adalah dari dokumen atau catatan yang ada bisa berupa buku,
jurnal, dll. Teknik analisis yang tepat adalah menggunakan analisis isi untuk jenis
penelitian ini. Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 mengemukakan bahwa rohn
dapat dibolehkan dengan ketentuan Murtahin (penerima barang) mempunyai hak
untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan
barang) dilunasi.
Kata Kunci: Akad Rahn,Gadai, Pegadaian Syariah
Abstract
The principle of pawn is very concerned about social values, mutual assistance and trust in its
implementation. This is none other than because the existence of Sharia Pawnshops is not for
commercial purposes, which makes its business a field to take maximum profit without paying
attention to the common good. The purpose of this study was to determine the implementation
of the rahn contract based on the DSN-MUI fatwa no. 25 of 2002. This research is a literature
review of descriptive research. Because using literature review, of course, the source of the
data is from existing documents or records, which can be in the form of books, journals, etc.
The appropriate analytical technique is to use content analysis for this type of research. DSN
Fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002 states that rohn can be allowed on condition that the
Murtahin (the recipient of the goods) has the right to hold the marhun (goods) until all debts
of the rahin (who deliver the goods) are paid off.
Keywords: Rahn Contract, Pawn, Sharia Pawnshop
Diterima: 25-06-2020 Direvisi: 5-07-2020 Disetujui: 6-07-2020
Analisis Pelaksanan Akad Rohn Berdasarkan Fatwa Dsn-
Mui No.25/Dsn-Mui/Iii/2002
Diana Maghfiroh, Putri Amalia Zubaedah 69
PENDAHULUAN
Konsep gadai telah ada sejak zaman Rasulullah dan bahkan Rasulullah sendiri
pernah melakukannya (Pratiwi, 2016). Prinsip gadai sangat memperhatikan nilai sosial,
tolong-menolong dan kepercayaan dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak lain karena
keberadaan Pegadaian Syariah bukan untuk kepentingan komersil yang menjadikan
usahanya sebagai ladang mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan
kemaslahatan bersama (Judul, 2017).
Lembaga keuangan berperan penting dalam pengembangan dan pertumbuhan
masyarakat industri modern. Lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bidang
usahanya hanya bergerak di bidang keuangan. Lembaga keuangan dibagi menjadi dua
yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan
bank adalah Bank Sentral, Bank Umum, dan BPR, sedangkan lembaga keuangan bukan
bank yaitu asuransi, leasing, anjak piutang (factoring), modal ventura, pegadaian, dana
pensiun, pasar modal, reksa dana, kartu kredit dan lembaga pembiayaan konsumen
(Surahman & Adam, 2018). Lembaga pegadaian dimaksudkan sebagai suatu lembaga
yang memberikan fasilitas bagi warga masyarakat untuk dapat memperoleh pinjaman
uang secara praktis. Pinjaman uang dimaksud, lebih mudah diperoleh calon nasabah
karena menjaminkan barang-barang yang mudah didapat pula. Hal ini, membuat lembaga
pegadaian diminati oleh banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat (Mandasari,
2015).
Di Indonesia terdapat dua lembaga keuangan yaitu lembaga keuangan
konvensional dan lembaga keuangan Syari’ah. lembaga keuangan Syari’ah adalah
lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip
Syari’ah. Menurut pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang di
maksud dengan prinsip Syari’ah adalah: Prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syari’ah”. Dari ketentuan di atas tampak bahwa menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, prinsip hukum Islam yang akan digunakan
dalam kegiatan yang dijalankan oleh lembaga keuangan syari’ah terlebih dahulu harus
ditetapkan dalam fatwa, yang dalam hal ini adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)
Majelis Ulama Indonesia (Surahman & Adam, 2018)
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia menerapkan berbagai macam produk
dan akad dalam menjalankan kegiatan usahanya, salah satu produknya adalah akad rahn
yang ada di Pegadaian Syariah. Gadai sebagai salah satu kategori dari perjanjian utang-
piutang, untuk suatu kepercayaan dari kreditur, maka debitur menggadaikan barangnya
sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang
menggadaikan, namun dikuasai oleh penerma gadai. Mekanisme teknis gadai syariah,
maka secara teknis operasional dapat dilakukan oleh suatu lembaga keungan syariah,
yaitu pegadaian syariah, baik sebagai lembaga swasta maupun pemerintah. (Roficoh &
Ghozali, 2018).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah sebuah kajian pustaka dari penelitian deskriptif. Karena
menggunaan kajian pustaka tentunya sumber datanya pun adalah dari dokumen
atau catatan yang ada bisa berupa buku, jurnal, dll. Teknik analisis yang tepat
adalah menggunakan analisis isi untuk jenis penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan rohn (gadai) dalam FATWA DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002
Vol. 11, No.2, pp.68-75, Juli, 2020
70 https://journal.ikopin.ac.id
Dasar hukum yang menjadi landasan pelaksanaan rahn adalah Al-Quran surah
Al-Baqarah ayat 283, hadist, ijma’, serta fatwa DSN No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang
Rahn dan Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas. Substansi dalam
peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh
berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan
transaksi utang piutang (Kholijah, 2020). Fungsi barang gadai (murtahin) pada ayat di
atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai
(murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beritikad baik untuk mengembalikan
pinjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang
dimilikinya (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya itu.
Pada hakikatnya praktik gadai merupakan salah satu bentuk dari muamalah,
dimana sikap tolong menolong dan amanah sangat diutamakan (Sofi’i, 2017). Rasulullah
SAW dalam hadist juga telah memperlihatkan contoh muamalah dengan menggadaikan
baju besinya kepada seorang Yahudi untuk mendapatkan makanan (Izzah, 2016).
Berpedoman pada al-quran dan hadist tersebut, pada dasarnya fungsi dari gadai adalah
untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Barang jaminan yang
diberikan digunakan sebagai jaminan utang bukan untuk kepentingan komersil yang
mengambil keuntungan sebesar-besarnya (Hermanto, 2016). Tujuan adanya praktik rahn
adalah untuk memberikan pinjaman atau pembiayaan dengan cara yang benar dan halal
sehingga menghindarkan masyarakat dari meminjam dana ke lintah darat, pegadaian
gelap atau pinjaman yang tidak wajar lainnya (Ilmiah, 2015).
Akad rahn diberlakukan atas pinjaman yang diberikan pihak pegadaian syariah
kepada nasabah (rahin), dimana pegadaian syariah menahan salah satu harta milik
nasabah sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya (Roficoh & Ghozali, 2018).
Dengan demikian, pegadaian syariah memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Barang tersebut dapat dimanfaatkan oleh
pihak pegadaian syariah jika nantinya nasabah (rahin) tidak dapat melunasi pinjamannya.
Pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk
rahn menurut Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar mengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
5. Penjualan marhun.
a. Apabila jatuh tempo, marhun harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin (Nasional & Indonesia, 2006)
Analisis Pelaksanan Akad Rohn Berdasarkan Fatwa Dsn-
Mui No.25/Dsn-Mui/Iii/2002
Diana Maghfiroh, Putri Amalia Zubaedah 71
Pertimbangan DSN menetapkan fatwa tentang rahn adalah:
1. Salah satu bentuk jasa pelayanan keuangan yang menjadi kebutuhan
masyarakat adalah pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan
utang.
2. Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) perlu merespon kebutuhan masyarakat
tersebut dalam berbagai produknya.
3. Agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
B. Pelaksanaan akad rohn di pegadaian syariah UPS Perjuangan
Dari berbagai peraturan mengenai gadai dan prakteknya itu, maka transaksi gadai
dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Adanya transaksi utang debitur kepada kreditur yang disertai jaminan
berupa harta bergerak yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
2.
Utang itu dikenai bunga yang disebut sewa modal, yang dihitung
berdasar prosentase tertentu dikalikan jumlah utangnya dan dihitung
per satuan jangka waktu tertentu.
3.
Gadai hanya dapat dilakukan atas harta bergerak termasuk surat- surat
berharga jika surat-surat berharga.
4.
Benda atau barang yang dijadikan agunan harus dikuasai oleh kreditur,
misal pegadaian atau bank.
5.
Gadai yang diadakan harus dengan persetujuan antara kreditur
(pegadaian atau bank) dengan debitur (nasabah) pemilik benda (harta
bergerak) tersebut.
6.
Gadai diadakan dimaksudkan untuk menjamin pelunasan utang dan
semua kewajiban yang timbul dari utang tersebut menjadi kewajiban
debitur kepada krediturnya.
7.
Kreditur (pegadaian atau bank) sebagai pemegang gadai berhak
terlebih dahulu mendapatkan pelunasan dari kreditur lain jika obyek
barang gadai dijual.
8.
Kreditur berhak menahan/menguasai benda-benda yang digadaikan
sampai seluruh kewajiban (utang pokok, bunga, denda dan biaya
lainnya) dilunasi debitur.
9.
Kreditur berhak menjual harta gadai melalui kantor lelang jika debitur
tidak mampu melunasi kewajibannya saat jatuh tempo.
10.
Kreditur juga berhak menjual sendiri tanpa melalui kantor lelang atas
benda-benda tersebut, jika diperjanjikan dengan tegas.
11.
Kreditur berhak meminta penggantian biaya pemeliharaan benda- benda
yang digadaikan kepada debitur.
12.
Debitur dapat menuntut kreditur atas hilangnya, merosotnya,
penyusutan harga atau kerusakan harta gadai tersebut disebabkan
kesengajaan atau kelalaian kreditur (Subagiyo, n.d.).
Adapun mekanisme opeasional gadai syariah secara umum adalah sebagai
berikut:
1.
Kategori Marhun
Dalam sudut hukum Islam, yang berlaku sebagai marhun tidak hanya
barang bergerak saja, namun juga meliputi barang yang tidak bergerak
Vol. 11, No.2, pp.68-75, Juli, 2020
72 https://journal.ikopin.ac.id
dengan catatan barang tersebut dapat dijual. (Rais, 2005) Pemeliharaan
Marhun.
Mu‟nah merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan perihal
biaya atas jasa penyimpanan dan pemeliharaan barang dalam suatu
gadai. Dalam teori gadai syariah, dalam hal penentuan biaya simpanan
belum ditemukan besaran tarif yang layak atau tepat. Namun berkaitan
dengan hal tersebut, terdapat beberapa pendapat ahli yang perlu
diperhatikan, antara lain:
a. Minimal terhindar dari hal yang merusak dan menyalahi
norma dan etika bisnis Islam
b. Menjauhkan dari unsur yang mendatangkan hal yang
bersifat negative (kemudharatan)
c. Terhindar dari kedzaliman dan praktik ketidakadilan
(merugikan suatu pihak)
(Rais, 2005).
2.
Resiko atas Kerusakan Marhun
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak
menanggung resiko apapun apabila kerusakan atau hilangnya marhun
tanpa disengaja.
3.
Pemanfaatan Marhun
Pada dasarnya, marhun tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh rahin
maupun murtahin karena statusnya hanya sebagai jaminan hutang dan
sebagai amanah bagi murtahin. Namun apabila mendapat izin dari kedua
pihak yang bersangkutan, maka marhun boleh dimanfaatkan.
4.
Pelunasan Marhun Bih
Murtahin dapat memutuskan untuk menjual marhun guna melunasi
utang rahin, apabila sampai pada waktu yang ditentukan rahin tidak
membayar kembali hutangnya dan tidak mau membayar setelah
mendapatkan perintah dari murtahun.
Pelelangan marhun dibolehkan dengan ketentun sebagai berikut:
a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin
(penyebab belum melunasi hutangnya).
b. Dapat memperpanjang tenggang waktu pembayaran.
c. Murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin
lain dengan seizing rahin apabila murtahin benar-benar
membutuhkan uang dan rahin belum melunasi marhun bih-nya.
d. Apabila ketentuan terebut tidak terpenuhi, maka murtahin boleh
menjual marhun dan kelebihan uangnya dikembalikan kepada
rahin.
e. Apabila hasil penjualan marhun lebih kecil dari jumlah marhun
bih-nya, maka rahin harus menambah kekurangannya tersebut
(Rais, 2005).
C. Analisis Pelaksanan Akad Rohn Berdasarkan Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-
MUI/III/2002 di Pegadaian Syariah UPS Perjuangan
Analisis Pelaksanan Akad Rohn Berdasarkan Fatwa Dsn-
Mui No.25/Dsn-Mui/Iii/2002
Diana Maghfiroh, Putri Amalia Zubaedah 73
Dalam praktiknya, Pegadaian Syariah UPS Perjuangan sudah memenuhi kriteria
rukun gadai dalam transaksi rahn. Mulai dari orang yang berakad (aqid), barang yang
diakadkan (ma’qud ‘alaih) dan lafadz ijab dan qabul (shigat) (Rahmat, 2018). Sehingga
pelaksanaan rukun rahn dalam transaksi rahn di Pegadaian Syariah UPS Perjuangan
sudah sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh para ulama. Disamping itu, secara
garis besar Pegadaian Syariah UPS Perjuangan sudah memenuhi ketentuan Fatwa DSN
No.26/DSN-MUI/III/2002 dalam transaksi rahn adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun
(barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
Secara praktik, jangka waktu akad maksimum 120 hari pinjaman (agar
diunasi) atau diperpanjang utang rahn, meninggalkan marhun bih dan sampai
dengan tanggal jatuh tempo.
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizing rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar mengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
Secara praktik, Barang jaminan tersimpan aman di pegadaian. Pada akad
rahn tidak boleh memanfaatkan marhunterlalu lama sebab akan
menyebabkan marhunhilang atau rusak. Atas dasar inilah Pegadaian Syariah
memberikan jangka waktu pinjaman selama 4 bulan atau 120 hari dan dapat
diperpanjang
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya
pemeliharaan dan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
Secara praktik, Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada
hakekatnya adalah kewajiban pihak yang menggadaikan (rahn), namun dapat
juga dilakukan oleh pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan
biayanya harus ditanggung rahin. PT.Pegadaian (Persero) akan memberikan
ganti kerugian apabila barang jaminan yang berada dalam penguasaan
PT.Pegadaian (Persero) mengalami kerusakan atau hilang yang tidak
disebabkan oleh suatu bencana alam (forje majeure) yang ditetapkan
pemerintah. Ganti rugi diberikan setelah perhitungan dengan uang pinjaman,
sewa modal dan biaya lainnya (jika ada), sesuai ketentuan penggantian yang
berlaku di Pegadaian (Persero).
Terhadap barang jaminan yang telah dilunasi dan belum diambil nasabah,
terhitung sejak terjadinya tanggal pelunasan sampai dengan sepuluh hari
tidak dikenakan biaya jasa titipan. Bila telah memenuhi sepuluh hari dari
pelunasan, barang jaminan tetap belum diambil, maka nasabah sepakat
dikenakan biaya jasa titipan yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di PT.Pegadaian (Persero) atau sebesar yang tercantum dalam bukti
transaksi. (Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, 2019)
4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
Secara praktik, marhun ditaksir sesuai dengan nilainya, pegadaian syariah
memberikan jasa penaksiran atas nilai suatu barang yang dilakukan oleh
rahin, jasa ini diberikan karena pegadaian syariah mempunyai alat penaksir
yang akurat.
5. Penjualan marhun.
a. Apabila jatuh tempo, marhun harus memperingatkan rahin untuk
segera melunasi utangnya.
Vol. 11, No.2, pp.68-75, Juli, 2020
74 https://journal.ikopin.ac.id
Secara praktik, dalam hal menjadi perpanjangan akad sampai tanggal
jatuh tempo, tanggal lelang dan bertahannya marhun bih tercantum
dalam nota transaksi (struk).
b. Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah.
Secara praktik, apabila sampai dengan tanggal jatuh tempo tidak
dilakukan pelunasan, ulang gadai, gadai ulang otomatis, maka
PT.Pegadaian (Persero) berhak melakukan penjualan barang jaminan
melalui lelang..
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan.
Secara praktik, hasil penjualan lelang barang jaminan setelah
dikurangi uang pinjaman, sewa modal, biaya lainnya (jika ada) dan
bea lelang, merupakan kelebihan yang menjadi hak nasabah,
PT.Pegadaian (Persero) akan memberitahukan nominal uang
kelebihan nasabah melalui papan pengumuman di Kantor
Cabang/Unit Pelayanan Cabang Penerbit SBG, mengirimkan surat ke
alamat nasabah atau melalui media lainnya seperti telepon, short
message service (SMS).
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin. Secara praktik, nasabah setuju bahwa biaya
pemberitahuan uang kelebihan kepada nasabah dapat diperhitungkan
sebagai pengurangan dari kelebihan. Jangka waktu pengambilan
uang kelebihan lelang adalah selama 1 (satu) tahun sejak tanggal
lelang sebagaimana dimaksud pada angka 8 perjanjian ini. Jika lewat
jangka waktu pengambilan uang kelebihan lelang, nasabah
menyatakan setuju untuk menyatakan uang kelebihan lelang tersebut
sebagai dana kepedulian sosial yang pelaksanaannya diserahkan
kepada PT.Pegadaian (Persero). Jika hasil penjualan lelang barang
jaminan tidak mencukupi untuk melunasi kewajiban nasabah berupa
uang pinjaman, sewa modal, biaya lainnya (jika ada) dan bea lelang
maka nasabah wajib membayar kekurangan tersebut (Perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, 2019).
KESIMPULAN
Fatwa DSN No.26/DSN-MUI/III/2002 mengemukakan bahwa rohn dapat
dibolehkan dengan ketentuan Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang)
dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pemeliharaan dan
penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan
dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Penjualan marhun apabila jatuh tempo, marhun harus memperingatkan rahin untuk segera
melunasi utangnya, apabila rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syari’ah, hasil penjualan marhun digunakan
untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta
biaya penjualan, kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin.
Analisis Pelaksanan Akad Rohn Berdasarkan Fatwa Dsn-
Mui No.25/Dsn-Mui/Iii/2002
Diana Maghfiroh, Putri Amalia Zubaedah 75
Sistem gadai dan pelelangan sudah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No. 25/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn pada Fatwa DSNMUI
No.25/DSN_MUI/III/2002 tentang rahn. Secara praktiknya pelaksanaan akad rohn di
Pegadaian Syariah UPS Perjuangan tidak menyalahi konsep dasar yang ditatapkan oleh
DSN-MUI, dalam pelaksanaanya terdapat beberapa aspek yang telah memenuhi fatwa
yang ditetapkan oleh DSN-MUI.
BIBLIOGRAFI
hermanto, M. (2016). Penanggungan Resiko Barang Jaminan Di Pegadaian Syariah (Studi Kasus
Pegadaian Syariah Wua-Wua Cabang Kendari). IAIN Kendari.
Ilmiah, J. (2015). ( Studi Pada Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang ).
Izzah, N. (2016). Analisis Prosedur BSM Gadai Emas Perspektif Se Bank Indonesia No.
14/7/DPBS Dan Fatwa DSN MUI No. 26/DSN-MUI/III/2002. Transparansi: Jurnal Ilmiah
Ilmu Administrasi, 8(2), 150161.
Judul, H. (2017). Halaman judul intisari (Issue April).
Kholijah, S. (2020). Akad Murakkab dalam Produk Keuangan Syariah. Jurnal BAABU AL-ILMI:
Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 5(1), 104116.
Mandasari, I. I. (2015). Kementerian Agama Republik Indonesia Institut Agama Islam Negeri (
Iain ) Syekh Nurjati Cirebon 2015 M / 1436 H Kementerian Agama Republik Indonesia
Institut Agama Islam Negeri ( Iain ) Syekh Nurjati Cirebon 2015 M / 1436 H.
Nasional, M. U. I. D. S., & Indonesia, B. (2006). Himpunan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (Vol.
1). Kerjasama Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia [dan] Bank Indonesia.
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara. (2019). Perpustakaan Universitas Sumatera Utara.
Pratiwi, N. (2016). Penerapan pembiayaan gadai emas di BRI syariah. Al-Masraf: Jurnal Lembaga
Keuangan Dan Perbankan, 1(1), 112.
Rahmat, Z. (2018). Pelaksanaan gadai kebun karet pada masyarakat jabiren kecamatan jabiren
raya kabupaten Pulang Pisau menurut pandangan ekonomi islam. IAIN Palangka Raya.
Rais, S. (2005). Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional suatu kajian kontemporer.
Roficoh, L. W., & Ghozali, M. (2018). Aplikasi Akad Rahn Pada Pegadaian Syariah. Jurnal
Masharif Al-Syariah: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 3(2).
https://doi.org/10.30651/jms.v3i2.1736
Sofi’i, I. (2017). Analisis Transaksi Gadai Emas Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus Pada BMT
Al Muqrin Pondok Cabe Pamulang Banten). Keberlanjutan: Jurnal Manajemen Dan Jurnal
Akuntansi, 1(2), 94112.
Subagiyo, R. (n.d.). SYARIAH ( RAHN ) Rokhmat Subagiyo : Tinjauan Syariah ...... pembiayaan
pada perbankan . Pegadaian dijadikan tumpuan untuk.
Surahman, M., & Adam, P. (2018). Penarapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn Di Lembaga
Pegadaian Syariah. Law and Justice, 2(2), 135146. https://doi.org/10.23917/laj.v2i2.3838
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0
International License